Teknologi kecerdasan buatan (AI) terus mendorong batas kreativitas, termasuk dalam dunia seni visual dan animasi. Belakangan ini, OpenAI kembali menjadi sorotan setelah banyak pengguna menggunakan alat AI generatif mereka untuk membuat animasi bergaya Studio Ghibli—studio legendaris asal Jepang yang dikenal dengan karya-karya seperti Spirited Away, Princess Mononoke, dan My Neighbor Totoro.

Hasil visualnya memang menakjubkan—karakter ala Ghibli, latar alam yang memikat, dan atmosfer magis berhasil ditiru dengan sangat mirip. Namun, kemiripan inilah yang memicu perdebatan: apakah ini bentuk evolusi kreatif? Atau pelanggaran hak cipta yang dibungkus teknologi?

Dimana Letak Masalahnya?

Masalah utamanya terletak pada gaya visual yang dilindungi secara tidak langsung oleh hak kekayaan intelektual. Meski tidak ada hukum internasional yang secara eksplisit melarang “meniru gaya,” seniman dan kreator menyuarakan kekhawatiran soal:

  • Eksploitasi tanpa izin: Gaya Ghibli dibentuk oleh puluhan tahun kerja seniman. Apakah adil jika AI memanfaatkannya tanpa kontribusi atau pengakuan?
  • Ambiguitas hukum: Jika AI menciptakan gambar baru yang “terinspirasi” oleh Ghibli, apakah itu pelanggaran? Belum ada hukum yang betul-betul jelas dalam hal ini.
  • Risiko komersialisasi: Beberapa pihak khawatir gaya visual yang sangat mirip bisa digunakan untuk kepentingan komersial tanpa restu Ghibli.

Evolusi Kreatif atau Pelanggaran?

Pendapat publik terbelah.

Di satu sisi, banyak yang menganggap ini bagian dari evolusi kreativitas. Seperti pelukis yang terinspirasi Van Gogh atau musisi yang memakai gaya jazz, sebagian berpendapat meniru gaya visual adalah bentuk apresiasi. Apalagi, dalam kasus ini, gambar yang dihasilkan AI bersifat baru bukan hasil copy-paste.

Di sisi lain, para seniman dan pelindung hak cipta melihat ini sebagai ancaman. AI dinilai bisa “menghisap” gaya seni dari kreator asli, lalu menduplikasinya secara massal tanpa izin, kompensasi, atau penghargaan.

Apa Sikap Studio Ghibli?

Hayao Miyazaki, pendiri Studio Ghibli, dikenal keras menentang penggunaan AI dalam seni. Dalam sebuah wawancara yang dikutip Hindustan Times, ia berkata:

“Saya benar-benar muak. Kalau kalian ingin membuat hal menyeramkan seperti itu, silakan saja. Tapi saya tidak ingin teknologi ini masuk ke dalam karya saya. Menurut saya, itu merendahkan karya seni itu sendiri.”

Menurut Miyazaki, karya seni yang otentik lahir dari pengalaman manusia, rasa sakit, empati, dan emosi sesuatu yang tidak bisa ditiru oleh algoritma. Ia khawatir, jika dunia seni menyerahkan proses kreatif pada mesin, maka hasilnya hanya akan menjadi “kosong” tanpa jiwa kemanusiaan.

Perdebatan soal AI, seni, dan hak cipta masih jauh dari selesai. Kasus “animasi Ghibli dari OpenAI” ini hanyalah puncak gunung es dari isu yang lebih besar: bagaimana kita mendefinisikan orisinalitas dan kepemilikan di era digital.

Apakah kita sedang menyaksikan pelanggaran hak kekayaan intelektual secara halus? Atau ini hanyalah langkah alami dalam perkembangan kreativitas manusia dibantu mesin?

Kalo kamu mau bisnis kamu level up di dunia digital kreatif tanpa bergantung pada AI, kamu bisa konsultasi aja langsung sama SevenAds. Team SevenAds sudah profesional dalam membuat konten-konten kreatif yang bisa buat bisnis kamu makin perform khususnya di Digital, lhooo! Yuk langsung aja konsultasi melalui email [email protected] atau cek di website SevenAds untuk informasi lebih lanjut ya!