Di dunia digital yang kompetitif ini, brand harus tahu kapan waktunya menyerang dan kapan bertahan. Dua pendekatan utama ini dikenal sebagai offensive strategy dan defensive strategy. Offensive strategy fokus menyerang kelemahan pesaing dan berebut pasar. Sementara defensive strategy lebih pada mempertahankan posisi yang sudah dimiliki dan menjaga loyalitas pelanggan. Lalu, strategi mana yang paling efektif?
Offensive Strategy: Serangan Balik ke Pasar
Offensive strategy adalah pendekatan agresif di mana brand aktif mencari peluang untuk menyerang titik lemah kompetitor. Fokusnya bukan sekadar menjaga posisi, tapi mengambil alih pangsa pasar, menjangkau audiens baru, dan tampil sebagai pemimpin industri. Strategi ini cocok untuk brand yang ingin memperluas pasar, memperkenalkan produk baru, atau menggeser pesaing dari posisi dominannya.
Defensive Strategy: Memperkuat Posisi yang Sudah Ada
Sebaliknya, defensive strategy berfokus pada perlindungan—baik dari sisi pelanggan, market share, maupun profitabilitas. Tujuannya adalah mempertahankan apa yang sudah dimiliki, membangun loyalitas pelanggan, dan menjaga agar kompetitor tidak mengambil alih posisi yang sudah susah payah dibangun. Strategi ini banyak digunakan oleh brand yang sudah mapan dan ingin menjaga stabilitas jangka panjang.
Menyerang Duluan untuk Kuasai Pasar
Strategi ofensif memberikan ruang bagi brand untuk tampil lebih percaya diri, berani, dan inovatif. Brand bisa mengeksplorasi segmen pasar baru, memanfaatkan tren yang sedang naik, atau meluncurkan kampanye pemasaran yang provokatif untuk menarik perhatian publik. Salah satu contoh ikonik adalah pertarungan antara Coca-Cola dan Pepsi, yang berkali-kali saling sindir di iklan TV maupun media sosial. Tujuannya jelas: mencuri perhatian konsumen dan menggeser loyalitas dari satu brand ke brand lain.
Keunggulan strategi ini antara lain:
- Menjangkau pasar baru lebih cepat
- Meningkatkan eksposur brand melalui kampanye yang bold
- Memperkuat posisi sebagai inovator dan pemimpin
Namun, ada juga tantangannya: strategi ini membutuhkan modal besar, risiko reputasi, dan persiapan matang untuk merespons kemungkinan serangan balik dari pesaing.
Bertahan Itu Bukan Berarti Pasif
Meski tidak seagresif strategi ofensif, defensive strategy tetap penting—terutama bagi brand yang sudah punya pasar dan ingin mempertahankannya. Strategi ini berfokus pada pengalaman pelanggan, layanan terbaik, dan konsistensi kualitas. Contohnya adalah Harley-Davidson. Alih-alih terus berinovasi agresif, brand ini memilih untuk memperkuat komunitasnya, menjaga kualitas produk, dan tetap relevan dengan audiens yang sudah loyal selama bertahun-tahun.
Strategi defensif efektif dalam:
- Meminimalkan churn (hilangnya pelanggan)
- Membangun kepercayaan dan hubungan jangka panjang
- Menjaga stabilitas pendapatan dan profitabilitas
Namun, terlalu fokus bertahan bisa membuat brand ketinggalan tren atau kehilangan daya tarik di mata konsumen yang mencari hal baru.
Keseimbangan adalah Kunci
Di era digital yang bergerak cepat, brand tidak bisa hanya mengandalkan satu gaya bermain. Butuh ketepatan membaca momentum, kelincahan dalam merespons tren, dan ketegasan dalam mengambil keputusan. Strategi yang efektif bukan hanya soal menyerang atau bertahan—tetapi bagaimana menggabungkan keduanya untuk hasil yang paling berdampak.
Di dunia digital yang penuh peluang dan tantangan, brand kamu butuh strategi yang gesit dan adaptif. SevenAds hadir untuk membantu brand membaca momentum, menyusun langkah yang tepat, lalu mengeksekusinya secara cerdas di berbagai kanal digital. Yuk diskusi di [email protected] atau kunjungi Website SevenAds.