Di era media sosial yang berkembang pesat, influencer telah menjadi tokoh sentral dalam membentuk pola konsumsi masyarakat. Namun kini, muncul sebuah fenomena baru yang menantang dominasi mereka—deinfluencing.
Deinfluencing merujuk pada gerakan di mana konsumen maupun influencer mulai mengambil jarak dari praktik promosi yang mendorong pembelian impulsif. Alih-alih mendorong orang untuk membeli produk, mereka justru menyuarakan pentingnya bersikap kritis dan selektif terhadap berbagai tren konsumsi.
Fenomena ini menandai pergeseran paradigma. Jika sebelumnya influencer dikenal sebagai motor penggerak konsumerisme lewat ulasan produk dan endorsement, kini sebagian dari mereka justru mengajak audiens untuk tidak membeli barang-barang yang dinilai berlebihan, tidak efektif, atau hanya sekedar ikut tren.
Respons terhadap Kejenuhan dan Kegelisahan Konsumen
Deinfluencing tumbuh sebagai respons atas kejenuhan pengguna media sosial terhadap banjir konten promosi. Semakin banyaknya brand dan influencer yang menawarkan produk secara terus-menerus, publik mulai mempertanyakan kejujuran dalam rekomendasi tersebut. Tidak sedikit influencer dituding terlalu berpihak pada sponsor, tanpa mempertimbangkan kebutuhan nyata para pengikutnya.
Ditambah lagi, situasi ekonomi global dan meningkatnya kesadaran akan isu lingkungan mendorong konsumen untuk bersikap lebih bijak. Mereka mulai menghindari pembelian yang tidak esensial, dan mengutamakan prinsip konsumsi berkelanjutan.
Perubahan Pola Komunikasi di Media Sosial
Gerakan deinfluencing tidak hanya datang dari konsumen. Sejumlah influencer juga menyadari bahwa pengaruh mereka telah terlalu terikat pada kepentingan komersial. Akibatnya, mereka mulai mengubah pendekatan: lebih transparan, lebih jujur, dan tidak lagi sekedar ‘menjual’ produk.
Konten deinfluencing tumbuh subur di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube. Di TikTok khususnya, video-video yang menyuarakan kekecewaan terhadap produk tertentu atau ajakan untuk “tidak beli” kerap viral. Tagar seperti #Deinfluencing menjadi populer, memperkuat gelombang perubahan ini.
Dampak Besar bagi Dunia Pemasaran Digital
Tren ini tentu berdampak signifikan pada industri pemasaran. Pertama, konsumen kini lebih kritis dan tidak langsung percaya pada opini influencer. Mereka cenderung melakukan riset sendiri sebelum memutuskan untuk membeli.
Kedua, bagi para influencer, deinfluencing menjadi tantangan sekaligus peluang. Mereka perlu membangun kembali kepercayaan audiens dengan konten yang autentik, bukan hanya endorsement berbayar. Merek pun dituntut lebih selektif dalam memilih partner promosi, agar tidak terlihat memaksa dan kehilangan simpati konsumen.
Menuju Media Sosial yang Lebih Autentik
Deinfluencing mencerminkan perubahan nilai di media sosial: kejujuran lebih dihargai daripada popularitas. Konsumen masa kini tidak ingin lagi terjebak dalam arus promosi yang manipulatif. Mereka mencari konten yang relevan, realistis, dan transparan. Pembuat konten dan brand perlu kembali menempatkan pengalaman nyata dan integritas sebagai fondasi utama dalam berkomunikasi. Karena di tengah gelombang kritik dan kesadaran baru ini, kepercayaan menjadi aset paling berharga.
Kalau brand Kamu ingin lebih dekat dengan audiens lewat konten yang jujur dan relevan di tengah tren deinfluencing, SevenAds siap bantu. Mulai dari memilih influencer yang tepat sampai menyusun strategi konten yang lebih otentik dan dipercaya. Yuk, ngobrol bareng tim kami lewat email di [email protected] atau langsung kunjungi website SevenAds.